Namaku Muhammad Hasan Al -b asry. Tanggal 7 Ramadhan tepatnya pada hari selasa aku di lahirkan ke dunia. Aku di lahirkan dari keluarga...
Namaku Muhammad Hasan Al-basry. Tanggal 7 Ramadhan tepatnya pada hari
selasa aku di lahirkan ke dunia. Aku di lahirkan dari keluarga yang begitu
sederhana dan bisa dibilang pas-pasan. Ayahku seorang tukang becak dan ibuku
seorang penjahit. Bagiku jika sudah bisa makan sama telur dadar sambel dan
kecap itu sudah makanan yang lezat bagi keluarga kami.
Di tahun 1999 aku masuk sekolah dasar Tunas Harapan di desaku. Hari
pertamaku di sekolah memang sangat berbeda dengan anak-anak lainnya yang punya
tas baru, sepatu baru, seragam baru, dan serba baru. Walaupun aku tidak punya
serba baru, tapi aku bahagia karena Tuhan masih menitipkan momen kebahagian di
keluarga kami. Berapa banyak anak-anak yang seharusnya mengenyam pendidikan, tapi
mereka harus bekerja demi mencari sesuap nasi untuk menyambung kehidupan. Dan
aku termasuk dari sejuta anak Indonesia yang dipilih oleh Allah untuk merasakan
manisnya pendidikan. Sejak kelas III aku berjualan di sekolah untuk membantu
sedikit dari kebutuhan keluargaku. Tidak jarang aku ditertawakan bahkan
dikucilkan oleh teman-teman.
Aku ingin menangis sejadi-jadinya. Tapi, aku membayangkan berapa ribu
bahkan berapa juta anak yang tidak bisa makan. Mereka yang tak punya tempat
tinggal, hidup di pinggiran jalan, tidur beralaskan kardus, dan berselimutkan
embun. Mereka semua kuat menerima tantangan ini. Kenapa aku tidak? Disinilah aku
merasa menjadi orang yang paling beruntung di dunia ini, karena Allah masih
menitipkan semua itu kepadaku. Aku masih punya orang tua, punya tempat tinggal,
dan bisa makan tiga kali sehari.
Ternyata, bersyukur lebih menenangkan hati. Sahabat... jika kita tidak bisa
mendapatkan apa yang kita inginkan, maka syukuri dan jaga apa yang telah Allah
titipkan kepada kita. Intinya, hidup itu harus banyak-banyak bersyukur.
Di tahun 2003, bapak mengalami sakit-sakitan. Menurut hasil pemeriksaan
dokter, bapak mengalami penyakit jantung. Mulai saat itu bapak berhenti dari
pekerjaannya, otomatis kehidupan kami semakin pas-pasan. Bapak mengalami sakit ini
selama satu tahun. Ketika itu malam dimana aku mempersiapkan Ujian Nasional. Seminggu lagi aku akan menghadapinya. Tiba-tiba,
ibu memanggilku dengan nada terisak menangis. Aku berlari keluar dari kamarku, kulihat
bapak mengalami kejang-kejang. Penyakit bapak kambuh lagi. Atas bantuan para
tetangga, bapak dibawa ke rumah sakit. Setibanya di rumah sakit, bapak langsung
dirawat di ruang ICU. Aku hanya bisa berdoa untuk kesembuhan bapak. Jujur saja
aku tak memiliki uang sepeser pun. Sementara ibu, kesana kemari mencari
pinjaman uang kepada keluarga. Uang yang didapat pun tak seberapa. Sedih
rasanya hati ini melihat bapak yang selama ini berjuang untuk setiap detik
kehidupanku, tapi aku tidak dapat berbuat apa-apa untuk kesembuhannya.
Setelah tiga hari koma di rumah sakit, bapak menghembuskan nafas terakhirnya.
Aku dan ibu tak kuasa menahan air mata. Rasa tidak percaya di benakku, “Mengapa
bapak begitu cepat meninggalkan aku dan ibu?” Sahabat... anugerah terbesar
dan terindah adalah ketika kita masih diberikan
waktu untuk berkumpul bersama orang-orang yang kita cintai.
Dan di tahun 2004 ini aku selesai dari sekolah dasar. Aku tidak tahu harus
melanjutkan kemana. Keinginan yang sangat di dalam hati ini untuk menjadi seorang penghafal Al-Qur’an
sirna. Karena tidak ada harapan lagi untuk melanjutkan perjuangan ini.
Sore itu semilir angin berhembus kencang. Aku duduk di teras rumah membaca
sebuah novel yang berjudul “Laskar Pelangi”. Di tengah keasyikanku membaca,
sebuah kertas jatuh dari halaman buku. Kertas itu bertuliskan “MAN
JADDA WAJADA”. Kertas ini adalah kenanganku ketika mendapat juara
1 lomba kaligrafi di sekolah. ‘Siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan mendapatkan
keinginannya.’ Tidak ada yang tidak bisa kita lakukan kecuali kita sendiri yang
tidak mau melakukannya. Seketika kata-kata ini menjadi semangat baru untukku. Dengan kemauan yang
menggebu-gebu, akhirnya aku mengutarakan niatku untuk menjadi seorang santri
kepada ibu. Ibu mendukung penuh keputusanku. Aku pun mendaftar menjadi seorang
santri di salah satu pesantren di pulau Jawa. Sepertinya pepatah ini benar “Dimana ada
kemauan disitu ada jalan”. Seminggu sebelum keberangkatanku ke
pesantren, pamanku datang ke rumah dan memberikan sejumlah uang yang cukup untuk membayar uang pendaftaran. Sahabat...
inilah salah satu bentuk bahwa keajaiban Allah itu ada. Jangankan merubah nasib
seseorang, merubah siang jadi malam saja Allah bisa. Percayalah
keajaiban Allah itu ada! Akhirnya dengan berbekal uang dua ratus ribu, dengan
mengucap bismillah dan doa dari ibu, aku berangkat ke pesantren. Ketika
di pesantren, aku menjadi anak khidmah bersama satu temanku dari Sulawesi. Setiap
harinya kami berdua memasak nasi untuk seribu orang santri dan biaya kami pun
ditanggung oleh pesantren.
Kegiatanku menjadi seorang hafidz qur`an begitu menyenangkan. Di dalam
hatiku, “Tidak ada yang bisa aku berikan kepada bapak dan ibu di dunia, namun
setidaknya aku bisa memberikan mahkota kepada mereka berdua ketika di surga. Di
tengah kekhusyukanku menghafal, aku dikejutkan pukulan dari si Dulah temanku
yang dari Sulawesi. Si Dulah atau nama lengkapnya Abdullah ini adalah teman yang luar biasa, bayangkan
dia hidup sendiri ayahnya meninggal ketika dia berumur enam bulan. Ibunya meninggal
ketika dia berumur dua setengah tahun . Dia pun di asuh oleh neneknya atas
bantuan seseorang, dia dikirim ke pesantren ini. Dari kecil ia sudah terbiasa
mengumpulkan botol-botol bekas dari situlah dia membiayai sekolah dasar . Dia dua tahun lebih dulu sampai di pesantren ini. Dalam waktu
tujuh bulan Al-qur`an yang mulia ini menyatu dalam hatinya. Ketika kutanya apa
rahasianya, dia menjawab “MAN JADDA WA JADA pegang semboyan ini benar-benar. Apa
yang tidak mungkin di dunia ini jika Allah sudah berkehendak. Awalnya terasa
tidak mungkin sampai kau berhasil melakukannya.” Ini kata-kata yang berhasil
menyalakan tombol power di hatiku. Semangat empat lima !
Ditengah pembicaraanku bersama si Dulah tiba-tiba datang Mamat menyampaikan
kalau kami di panggil Abah Yai sekarang juga. Kami pun bergegas menuju rumah
beliau. Sesampai di rumah, Abah Yai mempersilahkan kami duduk. Abah Yayi tersenyum
sambil berkata “Abah sengaja panggil kalian berdua kesini untuk memberikan
ini kepada kalian.”
“Gajah duduk! ini sarung bah?” Tanyaku.
“Enggak San itu di dalamya kebun
binatang” jawab Abah Yai .
Aku tersipu
malu, akunya juga sih yang goblok, jelas-jelas sarung ditanya.
“Sebenarnya
kalian berdua Abah panggil kesini untuk menerima tantangan. ini tantanganya, untuk
Abdullah kamu sudah berhasil menghafal 30 juz di pesantren ini dalam waktu yang
luar biasa, sekarang Abah tantang kamu menghafal 500 hadist dalam waktu dua
bulan. Kalau kamu berhasil, berangkat deh kamu ke Al-Azhar. itu mimpi kamu kan
Abdullah?”
Dulah hanya
menangis dan mengiyakan tantangan Abah Yai.
“Dan kamu Hasan sekarang sudah mengafal 15 juz. Jika kamu
bisa menyelesaikan dalam waktu 4 bulan, berangkat juga kamu ke Al-Azhar.”
Akhirnya kami berdua menerima
tantangan tersebut. Hari-hari kami dilalui bersama tantangan. Di tempat ini aku
menemui berbagai bentuk watak orang,
bagaimana seseorang menyikapi masalahnya, ijtihad seseorang dalam mendapatkan
ilmu, perbedaan antara seseorang yang benar-benar ingin meraih ridho Allah dan Rasulnya
dengan seseorang yang hanya sekedar maina-main atau sekedar mengikuti kemauan
orang tua.
Hidup ini penuh warna, Tuhan telah
memberikan dua belas crayon untuk kita. Tergantung kita
mau memberikan warna apa dalam kehidupan.
Embun masih menyelimuti pagiku. Ku lihat Dulah membawa tasnya, akan
kemanakah dia? Aku pun menghampirinya. Dia menatapku dengan pandangan sayu,
lemah, seperti orang tak memiliki semangat dalam hidup. Tiba-tiba, ia memelukku
dan air matanya bercucuran “Hasan... nenek telah tiada. Aku akan pulang ke
Sulawesi hari ini.” Rasa tak percaya aku dibuatnya, kenapa cobaan yang menimpa
sahabatku begitu bertubi-tubi, orang-orang yang dicintainya telah pergi. Inilah
kehidupan, kita diibaratkan seorang tukang parkir yang dititipi kendaraan. Namun,
ketika pemiliknya mengambil titipan tersebut kita tak bisa mencegah apalagi
marah. Hari itu Abdullah pulang ke desanya untuk melihat jasad neneknya untuk
terakhir kalinya.
Setelah
satu minggu ia kembali ke pesantren. Dibalik kata suka duka pasti ada suka
cita, di samping kekurangan Allah pasti menyelipkan suatu kelebihan. Setelah
kesengsaraan pasti ada kebahagiaan. Terkadang, ada orang yang menyesal terlahir
dalam keadaan miskin, dan ada pula orang yang merasa lebih baik dari orang
lain. Tapi, mereka malah tidak jadi pemenang dalam kompetisi yang diikutinya.
Hanya sumpah serapah yang keluar dari mulutnya, menganggap sang pencipta itu
tidak adil. Ku hampiri Abdullah yang tengah duduk di depan mushalla.
“Hai Dullah, bagaiman kabarmu?”
“Alhamdulillah, baik-baik saja.”
“Benarkah kau baik-baik saja?! Kalau ada
sesuatu, ceritalah kepadaku.”
“Iya San, terima kasih sudah menjadi
sahabatku selama ini. Inilah kehidupan, kadang kita timbul, kadang kita
tenggelam. Kita hanya bisa menjalaninya. Walau pun sekarang aku tidak memiliki
siapa pun, aku ingin jadi anak yang mandiri. Orang-orang yang aku cintai sudah
pergi meninggalkanku. Namun, aku harus tetap berjuang untuk membuat mereka
tersenyum. Kita gak perlu merasa orang paling miskin, kita gak perlu iri dengan
orang-orang yang hidupnya kelihatan lebih enak, yang penting kita bisa
menikmati dan mensyukuri apa yang telah Allah titpkan kepada kita.
“Subhanallah.. tegar sekali
sahabatku yang satu ini, seharusnya aku yang memberikan support untuknya, tapi malah
dia yang terus mensupportku.” Pikirku.
Tak terasa waktu empat bulan yang
diberikan oleh Abah Yai untuk menuntaskan hafalan quranku telah
berlalu. Rasa tak percaya aku dibuatnya. Tapi, tak ada hal yang tidak mungkin
jika Allah sudah menghendakinya. Keesokan harinya aku dan Abdullah dipanggil
untuk menghadap Abah Yai. Sesampainya di rumah Abah Yai menyambutku dan
Abdullah dengan senyum yang merekah. “silahkan duduk, bagaimana, apakah kalian
sudah mentuntaskan tantangan dari saya?” tanya Abah Yai. “Insya Allah sudah
bah”.
“Abdullah, 500 hadist yang kau hafal
aku ingin kau menyetorkannya kepadaku dalam waktu satu malam. Dan kau Hasan,
setorkan lima belas juz yang telah kau hafal dari ashar sampai malam.” Minta
Abah Yai.
Dan Akhirnya pada hari jumat tanggal
12 Desember tahun 2007 kita berhasil mewujudkan mimpi kita. Tak ada yang berat
di dunia ini. Jika kita melakukan semuanya dengan ikhlas.
Auliyah
Nadhirah